Mengenai Saya

Foto saya
Terlahir, tumbuh dalam atmosfir religiusitas yang terkontradiksi dengan materialisme dan rasionalitas.....

Kamis, 30 Oktober 2008

Mottanai!!


Beberapa waktu lalu secara tidak sengaja menemukan 2 TV Game Playstation dan Xbox, 1 set MD/CD Compo Denon , 1 pemutar DVD /VCR di onggokan tempat sampah. Kesemuanya rapi tertata dalam kardus-kardus yang masih licin, lengkap dengan manual operasi dan pembungkus plastiknya.Dengan kondisi barang sebaik itu ini biasanya sudah masuk recycle shop, dengan total harga kisaran 20ribu Yen.Maka dengan wajah berseri-seri masuklah kesemua barang itu ke dalam bagasi mobilku..Bukanlah rahasia lagi kalau pelajar-pelajar Indonesia di Jepang suka lebih dulu mendapat gelar "P" untuk "Pemulung" sebelum mendapatkankan gelar P. yang lain (Phd) ..he..he..Satu yang terlintas di kepala ketika itu adalah kata "mottanai"


Kata mottanai ini cukup Islami.Karena dalam padanan bahasa agama, mun
gkin kata "mubazir" yang paling pas sebagai terjemahannya. Suatu kata yang lahir dari konsep pemikiran untuk bisa mengambil memanfaatkan barang sebijak mungkin dan menghindar sikap mudah membuang.
Di jaman Edo (1600-1800M), kata ini menjadi pegangan hidup keseharian masyarakat Jepang kala itu. Sebagian besar simbol budaya semisal Geisha, Kabuki atau Sumo misalnya, tumbuh pada masa itu dan mengakar kuat sebagai sendi-sendi dasar tradisi Jepang yanh secara umum dikenal orang.. Konon pada masa itu jalanan kota Edo dikenal bersih, bukan karena pembangunan aspal dan seabrek aturan sosial yang mengikat, tapi banyaknya profesi-profesi seperti pemutung rokok, pengumpul sampah sayur yang kesemuanya masuk dalam kategori apa yang disebut dengan pemulung. Bermunculannya profesi ini bukan semata-mata alasan ekonomi, mengingat jaman Edo dikenal sebanyak salah satu jaman termakmur dalam sejarah Jepang pra-modern, akibat dari kestabilan politik Shogunate Tokugawa. Profesi ini lahir didukung oleh pemikiran "mottanai" yang diresapi masyarakatnya.

Dalam konsep ekonomi modern, kata mottanai seakan menjadi kontradiksi. Karena, produksi masal dari industri besar harus diimbangi dengan meluasnya pasar dan konsumsi yang besar pula, untuk menggenjot apa yang disebut pertumbuhan ekonomi. Makanya tidak heran bila wapres kita tercinta mengukur kesejahteraan ekonomi rakyatnya dari naiknya penjualan sepeda montor di negeri ini he..he..he...
Orang Jepang pada saat ekonomi mereka pada titik puncakpun, mengkonsumsi barang berdasarkan simbol yang mengikat bukan kebutuhan. Maka tak heran bila banyak barang dalam kondisi yang masih bagus yang tercecer di bak-bak sampah kota. Akan tetapi sekarang kondisi berubah. Lemahnya kondisi ekonomi, isu energi membuat mereka kembali berpikir bijaksana dan menggali lagi tradisi budayanya.
Sebagian orang Jepang berpikir bahwa hanya ranah budaya meraka-lah konsep mottanai ada, padahal tidaklah demikian. Masih segar ingatan masa kecil saya, sosok nenekku yang suka melipat dengan rapi kantong-kantong plastik dan pembungkus, atau mengumpulkan ranting2 pohonkering di pojok rumah. Dan pemandangan sosok pemutung rokok yang mnyusuri jalana depan rumah adalah pemandangan yang merindukan. Ternyata oleh kerja-kerja kecil mereka, sepetak bumi yang kita punya terpelihara......
Semga ini cukup jadi "pembelaan" -ku memulung benda-benda tadi..he..he..he..